BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Pada
masa sekarang ini tidak susah untuk mengetahui banyaknya anak yang turun ke
jalanan dan hidup di jalanan di Indonesia. Alasannya tidak lain dan tidak bukan
karena semakin hari biaya hidup di negara ini semakin mahal, terjadi
ketimpangan sosial dimana-mana. Hal ini menyebabkan keluarga miskin menjadi
semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang tua mereka dengan
terang-terangan menggunakan mereka sebagai belas kasihan, hal ini dilakukan
karena mereka tidak tahu lagi seperti apa mencari uang.
Pemerintah
nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD 1945 pasal 34 yang
berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya
sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak jalanan) juga harus
menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah angkat tangan dalam
menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah melakukan razia baik untuk
gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun anak jalanan. Padahal sebenarnya hal
itu bukanlah solusi, karena akar dari permasalahan anak jalanan itu sendiri
adalah kemiskinan. Jadi kalau ingin tidak ada anak jalanan ataupun gepeng
pemerintah harusnya memikirkan cara mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Mengentaskan kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain dengan cara
meningkatkan pendidikan pada anak jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang
sama dengan anak-anak lain.
Pemerintah
harusnya lebih memperhatikan bagaimana solusi untuk menangani anak jalanan,
karena sebenarnya mereka juga merupakan aset yang berharga bagi bangsa ini.
Sebagaimana yang telah di amanahkan dalam pasal 31 UUD 1945, bahwa negara wajib
membiayai penyelenggaraan pendidikan minimal 20 % dari anggaran APBN atau APBD.
Jadi,
pemerintah harusnya lebih tegas dalam masalah pendidikan agar permasalahan anak
putus sekolah dapat berkurang atau bahkan hilang sama sekali, karena di tangan
merekalah nasib dari bangsa ini dan merekalah yang akan meneruskan cita-cita
dan perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam amkalah ini dalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
definisi dan batasan anak jalanan ?
2. Apa
saja pengelompokkan anak jalanan ?
3. Apa
saja faktor-faktor yang menyebabkan adanya anak jalanan ?
4. Bagaimana
solusi dan pemerintah dalam mengatasi anak jalanan ?
5. Bagaimna
kesejahteraan sosial anak dan stabilitas ?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seluk beluk anak
jalanan serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Dan Batasan Anak Jalanan
Departemen
Sosial RI mendefinisikan, “anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunyauntuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau
tempat-tempat lainnya”.
UNICEF
memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who
have abandoned their homes, school and immediate communities before they are
sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan
merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan
yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).
B.
Pengelompokkan
Anak Jalanan
Himpunan
mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota (HIMMATA) mengelompokan anak
jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan anak jalanan murni.
Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari
penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Sedangkan anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya (Asmawati,
2001 : 28 ).
Menurut
Tata Sudrajat (1999:5) anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok
berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu :Pertama, Anak yang putus
hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan (anak yang
hidup dijalanan / children the street). Kedua,anak yang berhubungan tidak
teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu
sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak
yang bekerja di jalanan (Children on the street). Ketiga, Anak yang
masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang
rentan menjadi anak jalanan ( vulnerable to be street children).
Sementara
itu menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999 ; 22-24) anak
jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1. Anak-anak
yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street).
Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan
sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok
anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami
kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak
mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah
menjadi ikatan mereka.
2. Anak-anak
yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang
bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali
diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang
tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg sore hari
seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli
panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau
teman-teman senasibnya.
3. Anak-anak
yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang
tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke
jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh
orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.
4. Anak-anak
jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari
kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan
ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang
tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus,
menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,
pengemis dan pemulung.
Secara
garis besar terdapat dua kelompok anak jalanan, yaitu : 1). Kelompok anak
jalanan yang bekerja dan hidup di jalan. Anak yang hidup di jalan melakukan
semua aktivitas dijalan, tidur dan menggelandang secara berkelompok. 2).
Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan (masih pulang ke rumah orang
tua).
Sampai saat ini istilah “Anak
Jalanan” belum tercantum dalam Undang-Undang apapun. Akan tetapi kita dapat
mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut tentang anak-anak
terlantar. Pasal 34 UUD45 menyebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini paling tidakada dua hal penting yang
perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar”
dan apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara
itu?
Istilah “Anak terlantar” yang
digunakan para “Bapak Bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah
didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak. Di sana disebutkan bahwa anak terlantar
adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya
sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan
bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan
negara atau orang atau badan." Begitu juga dengan pasal 5 ayat 1
disebutkan bahwa “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar
dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.
UU. No 4 /1997 tersebut secara
eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak.
Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab
atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun
sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1:
”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub
dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.
Dari beberapa konsep yang dikutip
dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam
katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat
pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban
dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya
sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan.
Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat
implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah,
sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang
menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49,
KUHPerdata Ps 319 tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.
Persoalan lain yang menyangkut
perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidakkonsistenan antara isi
dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang
setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan
penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi
negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara
tegas dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja
bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.
Hal yang hampir sama juga terjadi
pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak
masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam
proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti
narkoba, dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam
yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan
pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali
si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru
malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.
C.
Faktor-Faktor
Yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan
Banyak
faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya anak jalanan.
Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan di kota bukanlah
semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena
tekanantekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian
terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi
suatu kehidupan yang lebih baik di kota (Parsudi Suparlan, 1984 : 36).
Menurut
Saparinah Sadli (1984:126) bahwa ada berbagai faktor yang saling berkaitan dan
berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan, antara lain: faktor
kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesempatan kerja
(faktor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan
masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa
hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.
Hasil
penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin, 2000:11) menyebutkan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan berdasarkan alasan
dan penuturan mereka adalah karena:
1. Kekerasan
dalam keluarga.
2. Dorongan
keluarga.
3. Ingin
bebas.
4. Ingin
memiliki uang sendiri.
5. Pengaruh
teman.
Beragam
faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya anak jalanan
adalah faktor kondisi sosial ekonomi di samping karena adanya
faktor broken home serta berbagai faktor lainnya.
D.
Solusi
Dan Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Anak Jalanan
Ada
tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan yang harus dilakukan
oleh pemerintah, yaitu:
1. Pendekatan
Penghapusan (abolition)
Lebih
mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala anak jalanan. Anak
jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan merupakan akibat dari bekerjanya
sistem ekonomi politik masyarakat yang tidak adil. Untuk mengatasi masalah anak
jalanan sangat tidak mungkin tanpa menciptakan struktur sosial yang adil dalam
masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan kepada perubahan struktur sosial
atau politik dalam masyarakat, dalam rangka melenyapkan masalah anak jalanan.
2. Pendekatan
Perlindungan (protection)
Mengandung
arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang terlanjur menjadi anak jalanan.
Karena kompleksnya faktor penyebab munculnya masalah kemiskinan, maka dianggap
mustahil menghapus kemiskinan secara tuntas. Untuk itu anak-anakyang menjadi
korban perlu di lindungi dengan berbagai cara, misalnya:melalui perumusan hukum
yang melindungi hak-hak anak. Fungsionalisasi lembaga pemerintah, LSM dan
lembaga-lembaga sosial lainnya. Perlindungan ini senada dengan pendapat
pemerintah melalui departemen sosial, praktisi-praktisi LSM dan UNICEF di mana
tanggal 15 Juni 1998 membentuk sebuah lembaga independent yang melakukan
perlindungan pada anak. Yaitu lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA
tersebut didasarkan pada prinsip dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu:1) Anak
di fasilitasi agar dapat melaporkan keadaan dirinya.2) Menghargai pendapat
anak.3) LPA bertanggung jawab kepada masyarakat bukan kepada pemerintah.4)
Accountability Menurut Nugroho, sisi negatif dari pendekatan perlindungan
tersebutadalah strategis perlindungan hanya akan menjadi ajang kepentingan para
elitdan tokoh masyarakat sehingga berimplikasi pada tidak tuntasnyapenyelesaian
problem anak jalanan. Produk-produk hukum yang dirumuskan sebagai wujud bagi
perlindungan terhadap anak.
3. Pendekatan
Pemberdayaan (empowerment)
Menekankan
perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini bermaksud menyadarkan
mereka yang telah menjadi anak jalanan agar menyadari hak dan posisinya dalam
konteks social, politik ekonomi yang abadi di masyarakat. Pemberdayaan biasanya
di lakukan dalam bentuk pendampingan. Yang berfungsi sebagai fasilitator,
dinamisator, katalisator bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini dikatakan berhasil
jika anak jalanan berubah menjadi kritis dan mampu menyelesaikan
permasalahannya secara mandiri.
Selain
itu ada cara lain yang mampu mengatasi masalah anak jalanan, yaitu sebagai
berikut:
1. Melakukan
pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya anak-anak) ke
Jakarta, dengan cara operasi yustisi, memperkuat koordinasi dengan daerah asal,
pemulangan anak jalanan ke daerah asal dll.
2. Melakukan
identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan masalah anak jalanan
tersebut dengan menyentuh pada sumber permasalahannya. Sebagai contoh: banyak
diantara anak jalanan yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika ini yang
terjadi, maka pemerintah tidak bisa hanya melatih, membina atau mengembalikan
si anak ke sekolah. Tapi lebih dari itu, pemerintah harus melakukan pendekatan
dan pemberdayaan ekonomi keluarganya.
3. Mengembalikan
anak jalanan ke bangku sekolah.
4. Memberikan
perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. UU nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan anak perlu dilakukan
dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.
5. Menciptakan
program-program yang responsif terhadap perkembangan anak, termasuk anak
jalanan.
6. Melakukan
penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan keberadaan anak-anak
jalanan.
7. Membangun
kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesungguhnya merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
E.
Kesejahteraan
Sosial Anak dan Stabilitas
Anak
merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, karena itu
pembinaan dan pengembangannya (pemberdayaan) dimulai sedini mungkin agar dapat
berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.
Upaya
pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk didalamnya anak
jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya dan khususnya anak yang diwarnai dengan upaya pendalaman di bidang
pendidikan, kesehatan, keagamaan, budaya yang mampu meningkatkan kreativitas
keimanan, intelektualitas, disiplin, etos kerja dan keterampilan kerja.
Di
sisi lain stabilitas nasional adalah gambaran tentang keaadan yang mantap,
stabil dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan ditanganinya dengan baik masalah anak jalanan akan memperkuat
sendi-sendi kesejahteraan sosial serta stabilitas nasional kita di masa yang
akan datang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Permasalahan
anak putus sekolah (anak jalanan) akan semakin rumit jika dibiarkan saja.
Semakin hari angka tersebut akan semakin tinggi, jika tidak dilakukan upaya
tegas dari pemerintah.
Banyaknya
anak putus sekolah dan beralih menjadi anak jalanan sebab yang mendasar adalah
masalah ekonomi keluarga.
Disini
peran pemerintah sangat diperlukan. Untuk menanggulanginya pemerintah dapat
menciptakan lapangan kerja, program kredit usaha rakyat atau koperasi,
memberikan ketrampilan dan modal usaha agar para orang tua bekerja dan mampu
menyekolahkan anak mereka.
Dan
yang terpenting adalah sosialisasi atau kampanye tentang arti penting
pendidikan. Memberikan pemahaman tentang arti penting dari generasi sekarang
untuk masa depan bangsa ini.
B. Saran
Sebaiknya pemerintah
harus terus konsisten untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak jalanan agar
mereka tidak kembali lagi hidup di jalanan dan juga bisa memperbaiki kehidupan
mereka kedepannya. Pembuatan sekolah murah dan program orang tua asuh juga
harus terus digalakkan untuk memperkecil angka anak jalanan. Orang tua juga
sebisa mungkin memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada anak mereka
agar anak mereka menjadi betah di rumah dan tidak turun ke jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Coretan
Penghuni Jalanan. Langkah Solutif Permasalahan Anak
Jalanan, (online), (http://benradit.wordpress.com
Hapsari,
Endah. 09 April 2013. Awas, Kasih Uang ke Anak Jalanan Bisa Kena
Sanksi,(online), (http://republika.co.id
Sanyoto,
Agus. Bagaimana Mengatasi Problem Anak Jalanan di Ibukota?, (online),
(http://belantarajakarta.wordpress.com
Syaifudin. Ketidakberfungsian
Lembaga Pemerintah terhadap Masalah Putus Sekolah, (online), (http://edukasi.kompasiana.com